A. Identitas Buku
Judul
buku : Jihad Intelektual (Merumuskan Parameter-Parameter Sains Islam)
Pengarang
: Ziauddin Sardar
Penerbit : Risalah Gusti
Tahun
terbit : 1996
Tebal
halaman : 169
B. Ringkasan buku
1.
Membangun
Kembali Peradaban Muslim
Ketika berfikir
dan menulis tentang islam, kebanyakan kaun intelektual muslim baik yang
modernis maupun yang tradisional sering
memandang islam dalam kanvas yang sangat sempit dan mengikat. Islam sering
ditampilkan lebih sebagai sebuah kawasan keagamaan; kaum modernis lebih suka
membatasi islam pada batas-batas kesalehan pribadi, keyakinan-keyakinan dan
ritual-ritual. ; sementara kaum tradisionalis pada umumnya selalu menggambarkan
islam sebagai “tata-cara kehidupan yang lengkap” artinya prikelakuan manusia
dalam bidang sosial, ekonomi, pendidikan dan politik.
Intelektual-intelektual
muslim garda depan lainnya telah berupaya memproyeksikan islam sebagai sebuah
sistem etik. Sebagai contoh, dalam esainya yang brillian “Islam the Concept of
Religion and Foundation of Ethics and Morality”, Naquib al-Atts menjelaskan
bahwa din islam bisa diikhtisarkan menjadi
empat signifikasi primer: hutang
(indebtedness), ketakwaan (submisivenes), kekuasaan yang bijaksana (judicious
power), dan kecndrungan alamiah
atau fitrah (natural inclinatio).
Berdasarkan keempat signifikansi tersebut al-Attas kemudian menjadikan islam
sebagai suatu sistem sosial dan etika “alamih”. Pervez Manzoor, di pihak lain,
menyamakan syariah dengan sistem etik, dan kemudian memakai analisanya itu
untuk mengembangkan sebuah teori islam kontemporer mengenai lingkungan.
Rekontruksi
peradaban muslim secara esensial merupakan suatu proses elaborasi pandangan
dunia islam. Kelompok sarjana “ pandangan hidup yang lengkap” telah merumuskan
kembali posisi-posisi klasik dan tradisional untuk memecahkan problem-problem
ummat sebgai mana para juris dan ulama pada masa lalu telah memecahkan
problem-problem ummat pada masa mereka.
Kaum sosiologi berbicara
mengenai “peradaban modern” yang dimaksudkan yang di maksudkan sebagai
masyarakat-masyarakat urban dan masyarakat-masyarakat industri pada masa kini.
Pendekatan-pendekatan pada studi semacam ini telah membakukan “peradaban” pada
suatu epos historis yang khusus. Peradaban menjadi berarti suatu entitas
historis dengan suatu jangka hidup tertentu. Ibnu khaldun mengenai bangkit dan
hancurnya peradaban-peradaban misalnya, bisa bisa dilihat sebagai contoh dari
penyajian sebuah wawasan yang “cyclic” mengenai sejarah.
Tetapi peradaban
muslim tidak lebih ditentukan oleh masa sejarah tentu dengan pertimbangan
Al-Qur’an dan Sunnah. Secara esensial kita menghadapi tujuh tantangan besar.
Jika kita menggambarkan peradaban muslim dalam skema bunga, maka kita dapat
mengidentifikasi tujuh bidang yang memerlukan elaborasi kontemporer itu.
Pada pusat
bunga, terletak pandangan-pandangan islam; ia memproduk benih-benih untuk
pertumbuhan dan perkembangan masa depan. Pusat inti itu dikelilingi oleh dua
lingkaran konsentrasi yang melambangkan ekspresi-ekspresi luar yang terpenting
dari weltanschauung; struktur sosial
dan politik, kegiatan ekonomi, sains dan teknologi, serta lingkungan. Bungan
itu juga memiliki beberapa helai daun bunga sekunder yang melambangkan
bidang-bidang seperti ersitektur, kesenian, pendidikan, perkembangan komunitas,
perilaku sosial dan seterusnya. Tepi di sini kita hanya akan membicarakan
daun-daun bunga primer saja.
Syariah adalah
hukum islam dan etika yang dipandukan menjadi satu. Juris bersepakat bahwa
sumber utama syariah adalah Qur’an, Sunnah,
Ijma (konsesus pendapat), qiyas
(penilaian atas analogi juristik) dan jihad
(pemikiran bebas).
Para juristik
klasik menggunakan ijma, qiyas, ijtihad,
istihsan, istishlah dan urf
sebagai metode untuk memecahkan problem-problem praktis.
Jadi para intelektual
membangu peradaban muslim dengan cara Merekayasa pekerjaan untuk membangun
kembali peradaban muslim membutuhkan perumusan baru dalam pendekatan terhadap
islam sebagai peradaban. Hanya dengan mendekati islam sebagai peadaban masa
depan, kita bisa sungguh-sungguh berbuat adil kepada din islam. Lebih dari itu, rekontruksi peradaban muslim, secara
esensial merupakan suatu proses elaborasi pandangan dunia islam. Ia adalah
proses pemberian format dan sekaligus transformasi terus menerus untuk mengubah
fakta-fakta menjadi nilai-nilai; aksi-aksi menjadi tujuan-tujuan; dan
harapan-harapan; menjadi kenyataan.
2.
Jihad
Intelektual Kaum Cendekiawan Muslim Tanggung Jawab Mereka
Jihad berarti
melawan penidasan, despostisme dan ketidakadilan – dimanapun itu terjadi demi
kepentingan yang tertindas, siapapun mereka. Jihad harus dilakukan pada
berbagai level.
Didalam
Al-Qur’an menggunakan kata jihad dalam beberapa pengertian “Dan mereka yang berjuang di jalan Kami,
niscaya akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan Kami, dan sesungguhnya Tuhan
bersama mereka yang berbuat kebaikan.”(29:26). “Dan berjuanglah untuk Allah dengan sungguh-sungguh.”(22:78). Ibn
Taimiyah mengatakan tentang dua syarat utama jihad. Dia mengutip sebuah hadits Nabi untuk menjelaskan pandangannya
itu: “Engkau tetap memerintahkan yang
baik dan melarang yang munkar, bahkan ketika engkar melihat keserakahan
aiperturutkan, nafsu diumbar, harta duniawi diutamakan, sementara engkau tudak
melihat ada yang memperhatikan seruhanmu. Lihatlah dirimu sendiri tinggalkan
mereka; karena engkau akan menjumpai hari-hari kesabaran........... ketika
orang dapat memetik buah dari amal perbuatannya.”
Demikianlah,
seperti semua ketentuan-ketentuan islam jihad harus dilaksanakan dalam
batas-batas hudud, yang dalam kasus
ini adalah kesabaran yang sejati telah habis, pringatan yang keras harus
diseruhkan terhadap ketidakadilan dan penindasan, sehingga jihad lidah dan tangan menjadi perlu. Para cendekiawan yang sangat
menonjol dari ciri-ciri tersebut adalah mentalis guru. Ciri yang kedua adalah
ketidakmampuannya menerima kritik.
Tujuan final jihad intelektual adalah menciptakan
sebuah ruang intelektual yang merupakan perwujudan sejati pandangan-dunia dan
kebudayaan islam, dan yang bisa melahirkan solusi-solusi pragmatis atas
masalah-masalah kontemporer ummat muslim.
Para sarjana dan
cendekiawan muslim mempunyai peran vital untuk menghilangkan ketidak adilan dan
penindasan baik yang terdapat dalam masyarakat-masyarakat muslim maupun
masyarakat lain di dunia. Tetapi jika mereka memperoleh kepercayaan dan respek
dari ummat, mereka harus mencurahkan tanggung jawab mereka secara lebih serius
dan menunjukan perhatian yang positif terhadap kebudayaan dan nilai-nilai
pandangan dunia islam. Mereka harus memperjuangkan kebenaran dan keadilan sebagai
pejuang-pejuang bebas sambil memodifikasi karakter dan ciri intelektual mereka
untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutn masyarakat kontemporer.
Komunitas muslim
harus memberika penghargaan yang menjadi hak kaum cendikiawannya. Nabi Muhammad
saw pernah menegaskan tentang betapa pentingnya jihad intelektual bagi ummat, ketika beliau bersabda bahwa, “tinta seorang sarjana lebih mulia daripada
darah seorang martir (syuhada).
3.
Islamisasi
Ilmu Pengetahuan atau Westernisasi Islam
Epistemologi,
atau teori mengenai ilmu pengetahuan adalah inti-sentral setiap pandangan
dunia. Didalam islam di dalam konteks islam, ia merupakan parameter yang bisa
memetakan apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin munurut bidang-bidangnya;
apa yang mungkin diketahui dan harus diketahui; apa yang mungkin diketahui
tetapi lebih baik tidak usah diketahui; dan apa yang sama sekali tidak mungkin
diketahui. Epistimologi berusaha memberi definisi ilmu pengetahuan, membedakan
cabang-cabangnya yang pokok, mengidentifikasi sumber-sumbernya dan menetapkan
batasan-batasannya.
Islamisasi
merupakan sebuah karkter dan identitas Islam sebagai pandangan hidup (worldview)
yang di dalamnya terdapat pandangan integral terhadap konsep ilmu (epistemology)
dan konsep Tuhan (theology). Bahkan bukan hanya itu, Islam adalah
agama yang memiliki pandangan yang fundamental tentang Tuhan, kehidupan,
manusia, alam semesta, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, Islam adalah agama
sekaligus peradaban
Ilmu pengetahuan
tidak bisa dipisah dari pandangan dunia dan sistem keyakinan. Dari pada
“meng-islamkan” disiplin yang telah berkembang dalam miliu sosial, etika, dan
kultural barat, kaum cendikiawan muslim lebih baik mengarahkan energi mereka
untuk menciptakan paradigma islam, karena dengan itulah tugas untuk memenuhi
kebutuhan urgen masyarakat muslim bisa dilaksanakan.
4.
Perlunya
Sains Islam
Islam dirinya
sendiri sebagai din : suatu deskripsi menyeluruh yang melebihi pengertian
tradisional mengenai agama. Dengan demikian islm bukan hanya sekedar agama.
Islam adalah suatu sistem politik dan metode organisasi sosial. Dimana islam
dapat memecahkan masalah-masalah praktis, spiritual dan intelektual manusia.
Oleh karena itu, ia adalah suatu kebudayaan dan sebuah pandangan dunia. Dengan
demikian, din islam merupakan agama, kebudayaan, peradaban dan pandangan dunia.
Sistem ini
bermuatan struktur yang utuh meliputi sebuah matriks mengenai nilai-nilai dan
konsep-konsep abadi yang hidup dan realistis sehingga memberikan karakter yang
unik bagi peradaban dan pandangan dunia Islam. Nilai-nilai ini akan memberikan
parameter-parameter bagi masyarakat muslim dan sekaligus petunjuk bagi
peradaban Islam untuk mencapai nasibnya yang manifes.
Sistim Barat
sains itu sendiri merupakan nilai tertinggi sehingga segala-galanya harus
dikorbankan pada altar sains. Sementara dalam Islam sangat berbeda karena
pencarian ilmu pengetahuan (ilm) hanya bermakna jika ilmu pegetahuan yang
dicari menurut pandangan dunia-Islam adalah mencari karunia Allah. Dengan
demikian sains dalam Islam bukanlah nilai itu sendiri, tetapi tunduk pada
matriks nilai-nilai abadi. Oleh karena itu sains jelaslah tidak bebas nilai,
berbeda dengan sains di Barat yang berupaya mengembangkan nilai-nilai
kebudayaan dan peradaban Barat, sementara sains Islam mengembangkan nilai-nilai
pandangan Islam, misalnya dalam penggalian ilmu pengetahuan disamakan dengan
Ibadah, artinya ilmu pengetahuan itu harus dicari dalam kerangka yang relevan
dengan nilai-nilai lain seperti keadilan, kepentingan umum dan sebagainya.
Sebuah sains oprasional sangat dibutuhkan
untuk pembangunan untuk sebuah peradaban. Sebagai suatu sistem objektif untuk
memecahkan masalah yang terkerangka sesuai dengan paradigmanya sendiri, sains
islam muncul dari lingkaran nilai dan konsep islam yang abadi. Tanpa sains
islam, masyarakat muslim hanya akan menjadi bagian dari peradaban barat.
5.
Ilmu
Kedokteran dan Metafisika : Sebuah Reorientasi Islam
Sistem ilmu
kedokteran mengasalkan legitimasinya pada pandangan duninya. Ilmu kedokteran
barat adalah saudara kandung dari pandangan dunia yang reduktif, arogan dan
kapitalistik dari peradaban barat. Pandangan dunia ini secara epistemologi menjauhkan
masyarakat dari dominan-dominan ilmu kedokteran. Ilmu kedokteran barat dengan
demikian tidak ditujukan untuk menyelamatkan kepentingan golongan-golongan yang
ber-priviles dan berkuasa. Karena ilmu kedokteran barat tidak bisa menolerir
eksistensi ilmu kedokteran yang berakar pada pandangan dunia non-barat, maka ia
tidak membolehkan adanya mode of exsitence bagi dirinya sendiri. Berhadapan
dengan ilmu kedokteran yang seperti itu, ilmu kedokteran islam hanya akan
memperoleh format kontemporernya jika ia berhasil menjadi alternatif bagi
sistem ilmu kedokteran barat yang kini sedang menempuh jalan bunuh diri itu.
6.
Merumuskan
Kembali Konsep Universitas Islam
Universitas-universitas
islam yang baru dan sedang didirikan atas bantuan Organisasi Konfersi Islam
(OKI) di Islamabad, Petaling jaya, Dakktar dan tempat-tempat lain, menunjukan
adanya kesadaran baru akan kebutuhan-kebutuhan kontemporer dunia muslim. Akan
tetapi kesadaran-kesadaran semacam ini akan berakar kuat pada semangat
tradisionalisme, yang justru menghalangi membahas stuktur institusional
pemikiran inovatif, tulisan ini akan membahas struktur instusional
universitas-universitas ini seraya mnawarkan alternatif-alternatif yang sama
sekali berbeda.
7.
Ilmu
Pengetahuan dan Nilai Merumuskan Parameter-Parameter Sains Islam
Dewasa ini
pertanyaan mengenai “mengapa kita membutuhkan sains islam” harus diarahkan
untuk dikembangkannya solusi-solusi yang viabel
dalam kaitannya dengan krisis sains barat. Meskipun demikian, realisasi
kontemporer dari sains islam harus didasarkan pada suatu kerangka nilai yang
menjadi karakteristik-karakteristik dasar kebudayaan islam. Pada tahap
sekarang, kerangka nilai itulah yang perlu dikembangkan agar
parameter-parameter sains islam bisa dirumuskan.
Perdebatan
panjang dikalangan ilmuwan-ilmuwan muslim tentang “Sains Islam” telah
memberikan garis-garis besar pengembangan sains dikalangan masyarakat muslim,
dimana kebijakan tersebut memungkinkan diserapnya manfaat yang berharga dari
sains dan teknologi tanpa menjual nilai dan kebudayaan Islam, serta yang mampu
memberikan bentuk yang hidup dan dinamis kepada filsafat dan pandangan dunia
Islam.
Fenomena yang muncul kemudian adalah bahwa sains, teknologi dan masyarakat, dalam setiap interaksinya senantiasa menemukan masalah yang kerap muncul dalam skala dan kompleksitas yang luas, sehingga solusi-solusi praktis yang ditawarkan tampak surut dalam kabut konstrain-konstrain lingkungan, ekonomis dan politis. Sungguh sebuah persoalan yang paling signifikan yang sedang dihadapi ummat manusia saat ini.
Fenomena yang muncul kemudian adalah bahwa sains, teknologi dan masyarakat, dalam setiap interaksinya senantiasa menemukan masalah yang kerap muncul dalam skala dan kompleksitas yang luas, sehingga solusi-solusi praktis yang ditawarkan tampak surut dalam kabut konstrain-konstrain lingkungan, ekonomis dan politis. Sungguh sebuah persoalan yang paling signifikan yang sedang dihadapi ummat manusia saat ini.
Untuk merumuskan
parameter-parameter sains Islam pada konteks kekinian, perlu kiranya
dikembangkan solusi-solusi yang viable dalam kaitannya dengan krisis sains
Barat. Meskipun demikian realisasi kontemporer dari sains Islam harus
didasarkan pada suatu kerangka nilai yang menjadi karakteristik-karakteristik
dasar kebudayaan Islam.
kerangka nilai
yang merupakan karakteristik-karakteristik dasar kebudayaan Islam itu sendiri,
diantaranya :
- Tauhid (baca:Keesaan Tuhan) :
Konsep ini merupakan sebuah nilai yang all-embracing jika kemudian ditegaskan
menjadi kesatuan ummat manusia, kesatuan antar manusia dan alam, dan kesatuan
antara ilmu pengetahuan dan nilai.
- Khilafah: Bahwa manusia tidaklah independen dari Tuhan, tapi bertanggungjawab kepada Tuhan baik dalam kegiatan ilmiah maupun teknologisnya, konsep ini mengandung implikasi bahwa manusia tidak mempunyai hak eksklusif, tetapi bertanggungjawab untuk memelihara dan menjaga keselarasan tempat kediamannya di Bumi.
- Khilafah: Bahwa manusia tidaklah independen dari Tuhan, tapi bertanggungjawab kepada Tuhan baik dalam kegiatan ilmiah maupun teknologisnya, konsep ini mengandung implikasi bahwa manusia tidak mempunyai hak eksklusif, tetapi bertanggungjawab untuk memelihara dan menjaga keselarasan tempat kediamannya di Bumi.
- Ibadah: Dengan melakukan
kewajiban Kontemplasi (Ibadah), kesadaran mengenai Tauhid dan Khilafah akan
timbul, dan berperan sebagai faktor yang mengintegrasikan kegiatan ilmiah
dengan sistim nilai Islam. Sebab jika orang mencari ilmu pengetahuan untuk
melakukan eksploitasi dan dominasi terhadap alam, pasti dia akan menjadi
pengamat pasif.
- Ilm (baca: ilmu) : Konsep
mengenai ilmu pengetahuan ini merupakan konsep yang paling banyak ditulis dan
diperbincangkan oleh seluruh pengarang muslim klasik dari al-Kindi (801-873),
al-Farabi (w.950), al-Biruni (937-1048) sampai al-Ghazali (w.1111) dan Ibn
Khaldun (1332-1406) telah merumuskan klasifikasi-klasifikasi pokok mengenai
ilmu pengetahuan tersebut menjadi dua kategori, yaitu; ilm yang diwahyukan
(wahyu), yang menyediakan kerangka etika dan moral; dan ilm yang tak diwahyukan
(non-wahyu), yaitu yang pencariannya yang menjadi kewajiban bagi kaum muslim di
bawah petunjuk Ibadah.
Ilm pengetahuan
non-wahyu selanjutnya dibagi menjadi dua kategori: fardu ain yaitu yang
esensial bagi setiap individu untuk dipertahankan yaitu etika dan moralitas,
dan fardu kifayah yakni yang diperlukan untuk kelangsungan hidup masyarakat
secara keseluruhan. Dalam kerangka ini pencarian ilmu pengetahuan untuk
kepentingan individu atau komunitas adalah Ibadah.
- Halal dan Haram : Konsep ini
menjadi relevan, yang mencakup semua yang bersifat destruktif bagi manusia
sebagai individu dalam lingkungannya yang dekat, maupun lingkungan yang luas.
Destruktif dalam pengertian fisik, mental dan spiritual. Dilain pihak semua
yang bermanfaat untuk seorang individu, masyarakat dan lingkungannya adalah
Halal. Dengan demikian suatu tindakan yang halal tentu membawa manfaat bagi
individu, bisa saja mempunyai efek-efek yang berbahaya, baik bagi masyarakat,
lingkungan, atau keduanya. Inilah mengapa halal harus bekerja diatas
premis-premis distribusi keadilan sosial (adl). Sedangkan haram selalu akan
menimbulkan zulm (kezaliman), dan tirani.
- Adl (keadilan sosial) :
Demikianlah, kegiatan ilmiah dan teknologis yang berupaya memajukan adl
(keadilan sosial) adalah Halal, sementara sains dan teknologi yang menimbulkan
alienasi dan dehumanisasi, dimana konsentrasi kekayaan ditangan segelintir orang,
pengangguran dan kerusakan lingkungan, adalah zalim (tiranik), oleh karena itu
dinilai Haram.
- Zulm (tirani): Karakteristik dari teknologi yang zalim adalah bersifat boros sumber daya manusia, sumberdaya lingkungan dan sumber daya spiritual, dan dikategorikan sebagai sains dan teknologi yang memajukan keadilan sosial (adl) merupakan sumber suplementer terpenting dari hukum Islam.
- Istishlah (kepentingan umum) : Disinilah sebuah definisi mengenai sains Islam bisa diformulasikan dalam term kerangka nilai-nilai Qur’ani. Paradigma-paradigma sains Islam tersebut, adalah konsep-konsep Tauhid, Khilafah, Ibadah, yang bekerja dengan perantara Ilm untuk memajukan keadilan sosial (adl) dan kepentingan umum (istishlah), kemudian berkaitan dengan konsep-konsep yang lainnya.
- Zulm (tirani): Karakteristik dari teknologi yang zalim adalah bersifat boros sumber daya manusia, sumberdaya lingkungan dan sumber daya spiritual, dan dikategorikan sebagai sains dan teknologi yang memajukan keadilan sosial (adl) merupakan sumber suplementer terpenting dari hukum Islam.
- Istishlah (kepentingan umum) : Disinilah sebuah definisi mengenai sains Islam bisa diformulasikan dalam term kerangka nilai-nilai Qur’ani. Paradigma-paradigma sains Islam tersebut, adalah konsep-konsep Tauhid, Khilafah, Ibadah, yang bekerja dengan perantara Ilm untuk memajukan keadilan sosial (adl) dan kepentingan umum (istishlah), kemudian berkaitan dengan konsep-konsep yang lainnya.
Demikianlah
tanggungjawab seorang ilmuwan muslim yang meliputi tanggungjawab yang sosial
dan spiritual, dan sains Islam yang bertanggung jawab mengembangkan kesadaran
ketuhanan; mengharmoniskan tujuan dan cara, dalam mencari ilmu pengetahuan;
memperhatikan relevansi sosial dalam pencarian maupun penererapan ilmu
pengetahuan; serta, menolak netralitas pengetahuan objektif.
8.
Teknologi
dan Kemandirian Domestik Sebuah Alternatif Islam
Munculnya
teknologi Barat telah memperkenalkan semacam penjajahan gaya baru bagi
negara-negara muslim, betapa tidak justru teknologi tersebut diimpor seakan
menjual masa depan mereka. Evolusi dari sebuah alternatif Islam memerlukan
penggabungan dan kerjasama sumber teknis dan intelektual dari dunia muslim
seraya mengupayakan jawaban-jawaban lokal terhadap problem-problem lokal.
Keyakinan akan
sifat baik teknologi ini begitu mendalam, begitu berpengaruh sampai munculnya
anjuran bahwa masyarakat muslim harus mengambil manfaat penuh dari upaya
alih-teknologi Negara-negara industri maju. Alasan ini diperkuat oleh Waqar
Ahmad Husaini, yang pernah menawarkan pemikiran serius mengenai apa yang
dinamakan “pola imitatif-inovatif modernisasi teknologis”. Dimana dalam salah
satu kesimpulan yang bertentangan secara diametral, dikatakan bahwa
sistim-sistim sains kaum muslim pada zaman pertengahan, dan sistim-sistim sains
Barat pada zaman modern, termasuk Komunis, tumbuh melalui proses peminjaman dan
asimilasi yang selektif, ini menunjukan bahwa masyarakat muslim secara lebih
sempurna dapat lebih leluasa dan harus meminjam serta mengadaptasi prestasi
kultural material dan teknologi dari bangsa-bangsa non-muslim yang lebih maju.
Teknologi
konvensional yang berakar didalam nilai-nilai bart telah memperkenalkan semacam
perbudakan yang belum pernah dikenal didalam sejarah. Sementara itu
negara-negara muslim justru mengimpor teknologi untuk menjual masa depan
mereka. Alternatif-alternatif terhadap gaya dan mode kegiatan dan proses
teknologis hanya dapat mucul dari totlitas sebuah pandangan dunia. Evolusi dari
sebuah alternatif islam memerlukan penggabungan dan kerjasama sumber daya
teknik dan intelektual dari dunia muslim seraya mengupayakan jawaban-jawaban
lokal terhadap problem-problem lokal.
C. Komentar
Buku
ini mengangkat permasalahan yang sangat real kita lihat dalam dunia dimana
islam hanya dipandang sebelah mata dan para cendekiawan barat hanya
mementingkan argumennya ketimbang argumen cendekiwan islam. Sehingga banyak
memiliki argumentasi atau asumsi dalam intelektualnya sehingga para cendekiawan
islam banyak mengargumentasikan tentang bagaimana mereka dapat mengembangkan
ilmu pengetahuannya.
Sains Islam tidak semata-mata dilihat dari nilai itu sendiri melainkan
tunduk pada matriks-matriks nilai-nilai abadi. Tidak seperti sains yang
berkembang di Barat dimana cenderung tidak netral dan bebas nilai, dan berusaha
mengembangkan imperialisme budaya, oleh karena itu itelektual dan kaum pemikir
dikalangan Islam harus merumuskan paradigma sains Islam yang dapat mengungguli
sains Barat dan tentunya berupaya mengembangkan nilai-nilai pandangan Islam
dalam sains tersebut, dengan hanya semata-mata mencari keridhaan Allah Swt.
Selanjutunya alih-teknologi yang berkembang dari peradaban Barat yang
kemudian dinikmati masyarakat Islam sendiri, tidak harus disikapi dengan pasif,
namun harus dicarikan alternatif teknologi guna menjadi solusi terbaik bagi
pengembangan teknologi Islami, dimana masyarakat muslim harus mampu berperan
banyak didalamnya dan tidak hanya sebagai penikmat teknologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar